Hidup Yang Berdampak

Pada hari minggu ini GKI Karawaci membuka ibadah umum yang ke-3 setelah pandemi. Ibadah umum yang ketiga ini dibentuk dengan nuansa muda. Para pelayan yang akan melayani adalah mereka yang berusia remaja dan pemuda. Pemilihan dan aransemen lagu, hingga pembawaan pemimpin liturgi juga akan disesuaikan dengan gaya muda. Dengan dibukanya ibadah ke tiga yang bernuansa muda ini tentunya membuat kerja komisi ibadah, dalam hal ini tim liturgi, juga bertambah. Namun ternyata pertambahan ‘bobot’ pelayanan ini justru menimbulkan dampak yang positif. Saat ini, GKI Karawaci memiliki grup WA yang baru, grup pemusik dan WL (worship leader) serta grup WL secara khusus. Dengan dibuatnya grup-grup ini tentunya diharapkan ke depan akan semakin banyak anak muda GKI karawaci yang akan terlibat dalam pelayanan ibadah.
Menghayati bagaimana memiliki hidup yang berdampak tentu memerlukan model/contoh. Contoh yang sudah sangat familiar adalah hidup menjadi terang dan garam dunia. Menjadi terang berarti harus melepaskan terang agar bisa dinikmati sesama. Menjadi terang juga berarti harus siap untuk diletakkan di tempat yang strategis agar ruangan bisa menerima terang dengan optimal. Sementara itu, menjadi garam berarti harus siap untuk berbaur dengan berbagai jenis bahan masakan. Menjadi garam juga harus rela tidak terlihat meskipun membawa dampak rasa yang begitu nikmat (bayangkan apa artinya masakan yang hambar?).
Lalu, dengan begitu banyak pelayanan yang ada di gereja, bagaimana kita bisa menerapkan hidup yang berdampak seperti garam dan terang? Bagaimana dengan menjadi dampak di tengah keluarga, sekolah/kampus, lingkungan kerja, dan lingkungan sosial kita? Hidup yang berdampak bukanlah perkara yang mudah. Mungkin kita akan kehilangan waktu, harta, hobi, atau bahkan kehilangan hal-hal yang sangat kita sayangi. Namun, siapkah kita hidup berdampak baik? seperti Yesus yang menjadi dampak baik dalam hidup umat manusia?